(Image by Pixelci on Canva Studio) Ini bermula dari sebuah akun anonim (bukan fufufafa, bukan pula Chilli Pari), yang mengirim beberapa sura...

(Image by Pixelci on Canva Studio)

Ini bermula dari sebuah akun anonim (bukan fufufafa, bukan pula Chilli Pari), yang mengirim beberapa surat kaleng pesan teks dengan tendensi merendahkan mengingatkan sehingga membuat saya sedikit berpikir. Salah satu isinya adalah sebuah kalimat bahwa kegagalan merupakan sebuah aib, yang pantas dikasihani hingga bahkan (pantas) menjadi bahan tawa dan olokan. Sebuah bentuk kepedulian ini (akhirnya) menjadi ladang syukur bagi saya karena... bukankah jika saya yang gagal lalu mereka tertawa, sayalah yang justru mendapat pahala karena telah menghibur mereka? Tapi, bukankah kata orang-orang, kegagalan adalah sebuah kesuksesan yang tertunda, ya? 

Sebelum jauh membahas hal ini, saya iseng untuk kembali membuka KBBI (wkwk) guna mencari tahu makna gagal. Di dalam kamus, gagal adalah tidak berhasil; tidak tercapai (maksudnya), tidak jadi. Berarti, kegagalan adalah ketidakberhasilan seseorang dalam mencapai sesuatu yang ditujunya. Kalau begitu, bukankah semua orang di dunia ini pernah gagal dan mungkin akan berlomba menjadi peraih trofi nomor satu sebagai pribadi yang memiliki kegagalan dengan jumlah terbanyak?

Lagi, sebelum jauh membahas siapa sang juara peraih trofi itu, mungkin kita sepakat bahwa "kegagalan" pun ada versi dan tingkatannya. Kita gagal membuat kue untuk camilan, tidak sama dengan gagal membuat kue untuk jualan. Kita gagal mendapat nilai di atas KKM dalam ujian kenaikan kelas, tidak sama dengan gagal dalam ujian masuk perguruan tinggi. Semua bergantung kebutuhan, tujuan, dan seberapa besar pengaruhnya terhadap keberlangsungan hidup kita (meskipun ujung-ujungnya tetap hidup juga toh meski terseok-seok?). Kalau begini simpulannya, saya yakin, semua manusia di dunia ini adalah juara satu peraih trofi kegagalan terbanyak karena tiap-tiap dari mereka pasti memiliki ujian sesuai versinya. Untukmu ujianmu, untukku ujianku.

Saya kemudian bertanya-tanya, jika kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda, itu bermakna kita akan "sukses" pada waktunya, bukan? Namun, kalau tujuan yang kita capai (sebut saja A) tak pernah kita raih seumur hidup, apakah itu berarti akan dicap sepenuhnya gagal? Apakah ini yang akhirnya muncul sebuah label bahwa gagal merupakan aib atau ketidakberdayaan diri atau kecacatan diri? Tapi, bukankah memang manusia tak lepas dari khilaf~

Seiring berjalannya waktu, menambah pengalaman, juga menambah kegagalan, saya seperti diberi banyak pelajaran dari Allah untuk mengenal istilah lain dari gagal. Saat saya belum atau bahkan tidak berhasil, saya perlahan bisa bergumam, "Oh, mungkin bukan jalannya," atau, "Oh, mungkin bukan takdirnya," atau, "Oh, mungkin bukan jodohnya." Lalu ditutup dengan kalimat, "Pasti ada jalan lain, pilihan lain, yang telah Allah siapkan sebagai jawaban terbaik," meski sambil-bersusah-payah-meyakinkan-diri-sendiri—karena salah satu bagian tersulit dalam menjalani hidup adalah selalu berhusnuzan pada Pemilik kehidupan, bukan? Setelah itu, perlahan belajar untuk (akhirnya) lebih enteng mengucapkan, "Oh, ya udah," meski sebelumnya sempat gedebag-gedebug lebih dulu.

Hal paling penting dari gagal-kegagalan ini adalah ketenangan terhadap sebuah fakta bahwa kegagalan-kegagalan yang kita alami, setidaknya, tidak merugikan orang lain. Toh, kita bukan gagal nyaleg dengan modal uang panas~ Gagal dan sukses dalam tiap-tiap hidup kita pun, berbeda-beda. Seperti pepatah lumrah yang biasa kita dengar, "Kita tidak sedang berlomba dengan orang lain. Hakikatnya, kita berlomba dengan diri sendiri, sedang berjuang untuk menjadi lebih baik daripada kemarin." Untuk lebih menenangkan jiwa raga, mungkin perlu ditambah pepatah, "Kalau orang lain bisa, kenapa harus aku?" Huehehe

Karena kita sedang berjuang (dan senantiasa belajar) untuk menjadi pribadi yang lebih baik daripada pribadi pada hari-hari yang lalu, saat kegagalan itu menyapa, kita (mungkin) bisa lebih ikhlas dan tawakal karena kita telah mengerahkan kemampuan terbaik dalam setiap-semua ikhtiar. Ya, setidaknya, berubah dari pribadi yang jelek banget menjadi jelek aja juga sebuah usaha dalam berhijrah, kan? 

Untungnya, bumi masih berputar. Kegagalan-kegagalan kemarin masih bisa kita rayakan dengan perbaikan diri; kegagalan-kegagalan yang bisa kita tangisi dan tertawakan, lalu lanjut jalani hari. Namun, yang terpenting, semoga kita semua kelak selamat dari kegagalan di akhirat karena di sanalah satu-satunya bukti yang mematahkan kalimat, "Kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda." 
Ya Allah, mohon lindungi dan jaga kami selalu.—




Curcolan ini sepenuhnya sebagai pengingat dan penghibur untuk saya saat ini,
juga untuk saya di masa depan.

(Image by Stephane Bidouze on Canva Studio) Segumpal yang menjadi karunia dengan bilangan kedua telah ditiupkan. Yang pertama tlah hilang, m...

(Image by Stephane Bidouze on Canva Studio)

Segumpal yang menjadi karunia dengan bilangan kedua telah ditiupkan.
Yang pertama tlah hilang, menjadi tabungan, katanya.
Lalu bilangan tiga hingga lima juga ramai menambah karunia, 
"sempurna sudah," begitu batinmu.

Dua hingga lima kaupeluk dan pupuk.
Mereka dirawat dalam kandang yang kaubuat,
boleh berkeliaran tapi berulang kaubilang
bahwa keempatnya adalah milikmu. 

Lalu, dengan aturan dan pikiran yang kauramu
hingga perlu diteguk oleh dua hingga lima
secara penuh tanpa ragu.

"Ini istanaku," begitu katamu.
Lalu, dengan aturan dan pikiran yang kauramu
khusus kauberi pada yang terlihat paling berani—
atau mungkin yang satu-satunya berbeda sendiri.

"Ini istanaku," begitu katamu.
Lalu, kandang diperhalus dan dipercantik
agar yang berbeda sendiri mampu terus berada di dalam 
sangkar karena ia milikmu
karena aturan dan pikiran yang diramu telah
menjadikanmu yang paling tahu, mampu, dan buntu.

Bagaimana yang berbeda sendiri
terlihat paling berani 
padahal ia selalu dibuntuti?

Bagaimana yang berbeda sendiri
menjadi mampu sebagai berani
padahal ia justru tak mampu berdiri?

Bagaimana yang berbeda sendiri
menjadi mampu sebagai berani
padahal ia menjadi dalih
dan dalil
dan tameng
dan jimat
agar tali tidak terlepas dan ramuan manjur membekas?

Sebagai istimewa dengan karunia
yang diberi sumber kehidupan atas nama kasih,
tali-temali pengikat terlupa dikubur.
Tali yang bisa mencambuk siapa saja yang
terlihat hendak mengambil bagianmu—padahal bukan begitu,
dengan suara-suara 
dan hentaman kata
dan rusaknya logika
dan hilangnya rasa.

Kini, ada yang menyanksi apakah
karunia dan kasih mampu sedikit mengendorkan tali
agar perlahan hilang 
luka-luka 
akibat tali yang kaulempar dari kuasamu.

Atau,
tali lain perlu ikut mengikat
pada karuniamu yang lain 
agar kaupaham 
betapa sungguh banyak nanar
dan nanah
dan bekas panah
akibat aturan dan pikiran yang kauramu
menjadikanmu yang paling tahu, mampu, dan buntu.

Atau,
ramuan beranak-pinak
hingga penuh di dalam istana
untuk yang seterusnya
dan seterusnya
dan seterusnya
hingga lebur dan tak tersisa.
Hancur.

(image by Mihailo Karanovic on Getty Images) Beberapa bulan lalu, begitu ramai orang membuat (dan mengunggah ulang) video di media sosial de...

(image by Mihailo Karanovic on Getty Images)

Beberapa bulan lalu, begitu ramai orang membuat (dan mengunggah ulang) video di media sosial dengan satu konten yang sama. Kalimatnya rata-rata serupa: "Telat inilah, telat itulah, mari kita mulai masa remaja di usia 30 tahun," untuk orang yang sudah masuk di kepala tiga. Atau diganti dengan "di usia 25 tahun" untuk orang yang sudah masuk usia seperempat abad. Dan sebagainya, dan sebagainya. 

Memasuki masa-masa quarter life crisis memang menimbulkan beragam pertanyaan dan perbandingan tentang kehidupan; tentang karier, kehidupan sosial, ataupun hubungan relasi. Di usia-usia ini, ada banyak orang yang sudah mendapatkan sesuatu yang mereka harapkan, tetapi tidak sedikit pula orang yang merasa stuck dan sulit mencapai mimpi-mimpinya. Di usia-usia ini, ada orang yang sudah menyebarkan undangan hingga menimang buah hati, tetapi tidak sedikit pula orang yang masih kebingungan dengan jodohnya; bahkan, calonnya pun tak ada. Di usia-usia ini, ada banyak orang yang sudah melanglang buana mengelilingi dunia, tetapi tidak sedikit pula orang yang bertahan memberikan tabungannya untuk sekadar bisa makan keluarganya. Tapi, apakah memang kehidupan menjadi sebuah ajang perbandingan dan perlombaan? 

Tentu aku tidak munafik pernah merasa stres akibat beragam pertanyaan "kapan" dan "kenapa" dari mulut-mulut yang terlalu ramah itu. Itulah mengapa kalimat dalam konten tersebut seakan menjadi "penghibur" dan "penenang" bagi orang-orang yang merasa "telat" mencapai mimpi—jika dibandingkan dengan orang lain. Toh, tidak mengapa di usia segini baru bisa main bebas; toh, tidak masalah baru menikmati hidup di usia segini dan menikmati sedikit hasil jerih payahnya sekarang untuk bersenang-senang; toh, tidak apa-apa jika belum mencapai mimpi-mimpi itu; toh, tidaklah buruk menikmati hidup seperti masa remaja di usia 30 tahun; toh, usia hanyalah angka~ Kalau kata Tulus, menikmati hidup memulai masa remaja yakni seperti saat "kita masih sebebas itu, rasa takut yang tak pernah mengganggu"~

Tentu saja, konten yang sempat ramai berseliweran di lini masa media sosial ini membuatku setuju dan merasa ada "teman". Tapi kemudian perlahan aku bertanya-tanya: bukankah dalam Islam tidak ada fase remaja, ya? Karena saat aku membaca beberapa tulisan yang membahas hal ini, di dalam Islam hanya muncul istilah syabab—setelah masa aulad atau anak-anakatau fase pemuda (atau dewasa awal) yang masuk di kisaran usia 15 hingga 40 tahun. Di masa usia 15 tahun ini biasanya seseorang masuk dalam kategori mukallaf, terkena kewajiban menjalankan ajaran-ajaran Islam, alias sudah baligh. Yang itu artinya, kalau menurut Dr. Adian Husaini, seseorang yang sudah masuk di fase ini adalah ia yang imannya sudah harus benar, ibadahnya sudah benar, adabnya sudah benar, mengajinya sudah benar, jiwa dan pemikirannya sudah mantap dan benar.
Ah, mungkin aku terlalu menanggapi serius dari sebuah konten yang sekadar hiburan dan penenang ini.

Perlahan kemudian aku sadar, pertanyaan “kapan” dan “kenapa” itu tiba-tiba berhenti dari mulut mereka ketika objek yang ditanyanya tiba-tiba mengalami musibah. Entah karena kasihan, prihatin, ikut berduka, atau tidak ada hal lagi yang dirasa cocok untuk ditanyakan. Rasa-rasanya, musibah bisa menjadi anugerah untuk terhindar dari dera tanya dan hakim mereka. Toh, jangankan untuk “berlomba” dan berjuang mengejar mimpi, untuk sekadar bisa bertahan dalam situasi sulit secara baik pun adalah sebuah usaha berat nan susah-payah. Kalau kata film Jatuh Cinta Seperti di Film-Film, “Yang berat dari berduka itu hidup harus berjalan terus, kan? Padahal, kitanya lagi gak mau jalan.” 

Rasa-rasanya, musibah juga bisa membuka paham dan legowo lebih luas. Misalnya, saat kita sudah berjuang mendapatkan mimpi A, lalu kemudian yang sudah didapatkan itu tiba-tiba hilang dan diambil kembali oleh-Nya dengan cara yang pedih, akhirnya, sambil memulihkan diri (yang susah payah ini), kita lebih berhati-hati dan memberi batas toleransi terhadap mimpi-mimpi kita selanjutnya. Di saat orang-orang berjuang mendapatkan mimpi A, kita sudah pernah mengalami pahit dan perihnya hal itu sehingga kita sudah tidak lagi menggebu-gebu untuk mendapatkan kembali mimpi A (ataupun hal-hal lain). Kita mungkin bisa menjadi lebih berhati-hati atau bahkan belum sepenuhnya percaya, hingga akhirnya perlahan menikmati hidup yang begini-begini aja dengan jauh lebih waspada. Dan legowo. Dan bersyukur. Dan bersedih. Dan (mungkin) memulai masa remaja di usia yang sebenarnya masih muda~

Pada akhirnya, adakah istilah telat ini dan telat itu dalam lajur kehidupan kita? Apakah menikah di usia 30 tahun adalah telat, sedangkan menikah di usia 23 tahun adalah cepat? Padahal, bisa jadi yang menikah di usia 23 tahun itu ternyata (ditakdirkan) sudah menjadi janda ataupun duda di usia 25 tahun. Jadi, telat dan cepat menurut siapa? Bukankah begitu pula dengan karier, dengan memiliki anak, dengan banyak hal lain yang sebenarnya bukan kuasa kita sepenuhnya? 

Pada akhirnya, tidak perlu memulai menjadi (di fase) remaja, atau istilah apa pun itu, mari melanjutkan hidup yang sudah ditentukan garisnya ini, dan semoga kita yang sedang menjalani umur segini adalah kita yang bisa menjalani dan menikmati hidup dengan lebih bijak dan enjoy, menjalani hidup dengan banyak belajar, menjalani hidup dengan iman yang makin teguh. 

Lalu, bagi kamu yang juga sedang berada di fase bingung sepertiku: mempertanyakan bahkan menggugat banyak hal; kesulitan melihat batas hitam dan putih; menantang banyak orang; mempertanyakan atau bahkan tidak percaya pada suatu kelompok (orangnya, pengajarannya) yang sebelumnya dipercaya, atau pada seseorang, atau pada suatu aturan; menabrak atau merombak batas; dan lain-lain; dan lain-lain, semoga di tahun ini perlahan menemukan jawabannya, pelan-pelan menemukan “kebenaran”nya. Dengan arahan-Nya, dengan bantuan dan ilmu-Nya. Semoga pertentangan dan pertanyaan yang aku (dan mungkin kamu) lontarkan ini adalah khilaf yang dimaafkan oleh-Nya, juga proses menjadi lebih baik yang diridai-Nya.

Semoga kita adalah orang-orang yang tidak mudah berpuas diri dalam belajar, dalam mencari ilmu yang benar.

Terakhir, kamu boleh tidak sependapat denganku. 
Ini hanyalah tulisan curcol pertama di tahun 2024. Cheers

(image by bizoo_n on Canva Studio) Pelayaran selanjutnya dimulai. Perjalanan kali ini rasanya terasa lebih lama. Dan lagi, mereka berdua aka...

(image by bizoo_n on Canva Studio)

Pelayaran selanjutnya dimulai. Perjalanan kali ini rasanya terasa lebih lama. Dan lagi, mereka berdua akan memasuki wilayah yang cukup luas, tentu dengan arus gelombang yang tiba-tiba derunya bisa bergemuruh sangat kuat atau dengan kehadiran angin badai yang tiba-tiba menerjang perahu kecil mereka dengan sangat hebat.
 
Kapten dan Awak Kapal berjaga. Dengan perbekalan yang ada di tangan, Kapten Kapal mengikuti peta dan catatan sebagai sarana navigasi jalan; memandu ke mana arah perahu akan berlayar. Dengan tangan kecilnya, Awak Kapal ikut mendayung perahu dengan kuat. Layar perahu yang terbentang masih sering dicek silih berganti oleh keduanya, untuk berjaga-jaga kalau ada bagian yang berlubang dan perlu ditambal. 

Perahu berlayar. Kadang-kadang pelan sambil menikmati laut tenang dan pemandangan yang ada di hadapannya, kadang-kadang pula kencang didorong angin dengan sangat kuat. Kadang-kadang harus tiba-tiba mengubah kemudi karena ada terumbu karang yang besar di depan. Pada siang hari, terik matahari bisa saja begitu menyengat tubuh, sedangkan pada malamnya, dingin menusuk tulang hingga menggigil. Bahkan, ada pula saat matahari sedang memancarkan panas dan sinarnya begitu terang, tiba-tiba berubah diganti dengan awan hitam disertai petir yang menyambar. Bukankah memang begitu pelayaran kehidupan? Bukankah memang bahtera ini tidak luput dari suka-duka perjalanan?

Tak lama, perahu mulai memasuki wilayah besar sebagai tujuan berikutnya. Awak Kapal paham akan ada banyak pelajaran baru dari pelayaran ini. Ia tahu akan perlu adaptasi baru untuk menjalaninya. Ia tahu bahwa kapal ini juga adalah tanggung jawabnya, mengikuti arahan dari Kapten. Meski begitu, ia juga tetap bersiap siaga untuk menghalau dan mengingatkan Kapten jika perahu memasuki zona bahaya; untuk berjaga agar tidak ada perompak datang dan tidak tenggelam.

Namun, Awak Kapal terkejut melihat sinyal yang cukup berbeda dari wilayah perairannya kini. Ia terkejut melihat beberapa monster laut yang berjaga di batas teritorial. Monster laut itu membuat peraturan bahwa siapa pun yang masuk ke zona ini, haruslah mengikuti aturan yang berlaku—sesuai keinginan mereka. Beberapa kali monster laut ikut mengusik kemudi, yang turut diikuti oleh sang Kapten. Awak Kapal kembali membuka peta dan catatan navigasi, lalu bergumam, "Ini tidak sesuai dengan yang tertulis, tidak sesuai dengan kesepakatan bersama." 

Beberapa dari yang berjaga di batas teritorial terus berteriak dan memaksa, "Perahu kalian harus merapat masuk dengan kapal induk!" Beberapa ada yang berseru, "Harusnya begini, bukan begitu!" 

Awak Kapal kemudian bingung: Bukankah setiap perahu memiliki kedaulatan yang penuh untuk menentukan tujuan pelayarannya? Bukankah setiap yang berlayar punya hak untuk merasa aman dan nyaman? Bukankah dengan mendayung berdua bersama dan mengambil jalan bersama, bukan berarti melanggar aturan yang dibuat oleh makhluk? Bukankah ada banyak jalan menuju Roma? Bukankah dengan telah memutuskan berlayar bersama di perahu ini, juga telah memutuskan untuk mandiri dan saling?

Setelah membaca situasi, Awak Kapal bertanya dan mengajak berdiskusi. Ia bersedia mendengar apa-apa yang akan terlontar dari mulut kaptennya. Namun, beberapa kali ia mencoba, sang Kapten tetap bergeming. 

Tak lama, semua yang berjaga di teritorial ikut masuk dalam perahu. Mereka mengalihkan kemudi. Tiap-tiap dari mereka kini membawa pedang untuk menawan Awak Kapal. Awal Kapal sungguh ketakutan dan hendak meminta bantuan dan perlindungan dari sang Kapten, tetapi Kapten justru ikut mengeluarkan pedangnya. Kini Awak Kapal tertawan.

Ombak besar terus menghadang perahu kecil yang belum sempurna itu. Hujan mengguyur laut begitu deras, disertai kilat dan petir yang menyambar. Layar perahu yang terbentang kini mulai robek. Perahu kian lama kian mendekati terumbu karang besar yang sudah diwanti-wanti sejak awal. Tak butuh waktu lama, perahu kecil itu menabraknya. Kayu-kayu perahu yang masih perlu dihampelas dan ditambal sana-sini tidak kuat dihantam gelombang dan terumbu karang. Perlahan, air laut mulai masuk dan menggenangi perahu.

Awak Kapal mencari dayung yang selama ini digunakan untuk membantunya berlayar, tetapi hilang entah ke mana. Semua yang memegang pedang mulai memaksa Awak Kapal untuk keluar dari perahu, tetapi dihunusnya lebih dulu. Luka-luka yang ada pada tubuh Awak Kapal semakin perih terasa saat terkena air hujan yang mengguyur deras serta terkena air laut yang asin akibat cipratan ombak dan yang perlahan menggenang di kapal. 

Kapal induk kian mendekat. Mereka pergi ke sana dan membiarkan Awak Kapal bersama perahu kecilnya yang kian lama akan tenggelam. Lalu karam. 



Sambil terus bertahan agar tidak tenggelam, Awak Kapal mengerahkan kemampuan berenangnya dengan sekuat tenaga. Kini ia perlu bertahan sebentar, berenang dengan mengarungi lautan yang ganas untuk mencari dan kembali ke perahunya sendiri. Selama itu pula, ia bertanya-tanya,
Burukkah ia dalam mendayung sampan? Bersalahkah ia dalam meminta hak yang benar? Tak layakkah ia diperjuangkan dan diselamatkan? Tak ada waktu dan kesempatankah ia untuk sama-sama belajar? Atau, apakah sang Kapten telah memiliki awak kapal baru sebagai pengganti dirinya? 

Tanpa mereka sadari, selain menjadi sebuah pembelajaran berharga untuk Awak Kapal, kejadian ini membuat sang Awak Kapal takut, takut sekali, untuk mengarungi kembali lautan dengan orang lain dalam satu perahu. Kepercayaannya hilang, pada orang lain dan dirinya sendiri. 

(Image by Nugroho Wahyu on Pexels) Kutatap dalam-dalam cermin besar yang ada di depanku kini. Cermin ini sengaja kutaruh di sudut ruangan, k...

(Image by Nugroho Wahyu on Pexels)

Kutatap dalam-dalam cermin besar yang ada di depanku kini. Cermin ini sengaja kutaruh di sudut ruangan, kusembunyikan ia dari hiruk-pikuk beragam benda. Kuberikan porsi khusus sebagai yang teristimewa. Ia yang paling jujur berbicara, ia yang paling jujur mendengar, ia yang paling jujur memantulkan dan mendeksripsikan. 


Ada seorang perempuan kecil tengah berdiri menatapku juga di sana. Aku tersenyum. Ia juga tersenyum meski dengan raut wajah yang berantakan. Kami sama-sama tersenyum meski dengan beragam jenis tatapan yang sulit dideskripsikan. Nanar. Sendu. Sayu. Bahkan kosong. 


"Bagaimana kabarmu?" kutanya kalimat yang dianggap basa-basi oleh sebagian orang ini dengan sungguh-sungguh. Bagiku, ini menjadi pertanyaan sangat penting dan harus kulontarkan. Aku tak sabar mendengar jawabannya. 


"Baik dan tidak baik," ia kembali tersenyum dengan wajah pucat. Perempuan ini ingin mengabarkan dirinya sedang tidak baik, tetapi masih bisa ia lalui dengan baik, atau setidaknya, masih waras hingga hari ini. 


Tak butuh waktu lama, kami menitikkan air mata. Kantong mata yang makin besar dan hitam itu mungkin siap menjadi saksinya. Lama-lama, kami menangis hingga sesenggukan. Lama sekali. 

***

Pada yang setengah dari yang berjumlah 365,


Kudapati ia sedang terseok-seok berjalan di bulan April. Tubuhnya telah berlumuran darah. Ia pernah tertawan dengan banyak hunusan pedang. Punggungnya pun bahkan telah ditusuk dari orang yang tak terduga secara tiba-tiba hingga terjatuh dan tak bisa melawan.

 

April hingga Mei ia bertahan. Meski luka di sekujur tubuhnya belum kering dan masih menganga lebar, ia perlahan bisa berjalan pelan. Beragam obat dan resep telah ia coba. Bermacam rapalan doa selalu terlantun dari mulutnya. Kulihat ia masih bisa menaburkan banyak cinta dan harapan. Meski hatinya sempat terluka, ia masih dengan telaten memberikan perban. Hatinya masih mekar. Hatinya tidak layu. Kulihat ia sungguh-sungguh berjuang. Meski sendirian.

 

Aku terkejut pada waktu-waktu setelahnya. Pada Juni dan seterusnya, kulihat ia nyaris pingsan akibat menahan beragam sakit yang tak tertahan. Luka yang tak kunjung kering kembali ditebas oleh rangkaian kejadian pahit yang dialaminya. Darah makin deras mengalir. Berjalan pun ia tak sanggup. Ia terjatuh. Lagi. Kali ini lebih lama.


Dalam kondisi seperti ini, aku berlari menggapai tubuhnya segera, memeluk erat meski dengan hati-hati karena tubuh dan hatinya sedang sangat rapuh. Hatinya mulai layu dan mengering hingga pecah berkeping-keping. Kuelus-elus punggungnya yang pernah ditusuk itu. Kubelai ia, kukasihani ia, kusemangati ia. Walau sulit, aku memapahnya kembali berdiri untuk kembali belajar berjalan secara pelan-pelan sambil tertatih.

***

Pada yang seperempat dari yang berjumlah 100,

 

Aku melihatnya tumbuh dengan cepat dalam angka satu hingga dua puluh lima. Ia ditakdirkan lahir yang pertama sebelum yang lain. Ia yang mendapat kesempatan lebih dulu terbang mencari ilmu dan pengalaman, yang syukurnya, dapat dukungan dan kepercayaan penuh dari kedua mutiaranya.


Sejak kecil, ia sudah banyak dihadapkan oleh pilihan turunan. Beragam memori manis-pahit berputar dalam kepala. Ia juga ikut serta dalam fase-fase transisi kedua mutiaranya, fase jatuh-jatuh-jatuh berkali-kali. Fase terberani penuh konsekuensi yang dicontohkan langsung oleh kedua mutiaranya, sang figur terbaik dalam hidupnya. Ia banyak belajar. Sungguh ia banyak belajar. Tanpa sadar, sejak dulu ia telah dilatih untuk tahan banting menghadapi dunia.

 

Ia belajar untuk hidup sendiri sejak sekolah. Ia dipaksa oleh kehidupan untuk terus menggali banyak ilmu dan hikmah, berdiri di kaki sendiri, jatuh dan bangkit lagi. Tentu saja, selama dalam waktu dua puluh lima, kulihat ada banyak bekas luka padanya, tetapi ia cukup berhasil menyembuhkannya pelan-pelan. Kukatakan padanya, sekalipun luka kali ini adalah salah satu luka terperih dalam hidup, aku yakin ia akan mampu menerima dan mengobatinya perlahan meski tak ada waktu yang pasti hingga kapan pulih bisa ia dapati dengan penuh.


Kukatakan dengan sungguh-sungguh bahwa aku begitu bangga padanya. Aku tahu ia pernah mengalami banyak ketakutan dan kejadian traumatis, tetapi akhirnya bisa ia taklukkan hingga memberikan hasil yang baik. Kukatakan padanya bahwa aku begitu sayang, bahwa ada banyak sekali orang yang juga sayang dan berkenan memberikan doa-doa tulus mereka. Kuyakinkan hatinya bahwa doa dari mereka sungguh sangat membantunya dalam pemulihan. Aku menguatkannya bahwa kami masih punya Allah Sang Pemilik Kekuatan, Sang Penyembuh, yang Maha Pengasih dan Penyayang. 


Aku memeluknya lebih erat. 

Kami berangkulan.

Kami menangis lama untuk sabar dan syukur yang kami punya. 

Kami tersedu sedan.

Kami saling bergenggaman.

Lalu melangitkan doa

agar Dia senantiasa membalut hati kami dengan iman

agar Dia tetap menjadi tumpuan penuh harapan.


Hai Ikfi, aku mencintaimu. Sungguh. 

***

Ya Allah, tolong jadikan ini sebagai bentuk kasih sayang-Mu padaku, sebagai jalan terbaik mengajariku, sebagai jembatan penyelamat untukku. 

    

(image by Sahid Sultan on Canva Studio)   Sabtu lalu, aku ke psikolog. Tepat kurang lebih satu bulan setelah kejadian. Aku butuh pandangan b...

(image by Sahid Sultan on Canva Studio)

 

Sabtu lalu, aku ke psikolog. Tepat kurang lebih satu bulan setelah kejadian. Aku butuh pandangan baru, nasihat baru, dan tempat penyaluran ceritaku kepada orang lain (yang ahli) yang benar-benar tak mengenaliku. Kucari rekomendasi psikolog terbaik di kota ini. Bahkan, ia sudah mengantongi beberapa sertifikat yang berkaitan dengan masalahku. Aku harap, cara ini menjadi salah satu bentuk pertolongan Allah juga untukku.

***

Setelah melewati satu bulan yang berat, akhirnya kubagi dalam beberapa fase yang kurasakan. Kukenali dan kuidentifikasi perasaan-perasaan yang datang. Meski sulit, kunikmati semua prosesnya. Meski sakit, kuterima semua perasaan yang ada. Meski entah sampai kapan berlalu, aku masih bersyukur masih bisa terus melewati hari demi hari meski tertatih, meski harus tergopoh-gopoh, meski masih dengan berlumuran darah.


Kalimat pertama saat aku membuka suara dan mengeluarkan sedikit pembuka keluh kesahku, Mbak psikolog mengingatkan, "Semua orang akan mengalami fase yang berat dan sulit. Semua orang punya masalah terberat versi mereka masing-masing." Kucerna baik-baik kalimat itu. Aku takut, responsku terhadap emosi yang kurasakan selama sebulan terakhir terlalu berlebihan dan dianggap sebagai orang yang merasa paling tersakiti. Namun, aku tahu, semua orang akan mengalami fase ini, melewati fase dengan cara yang berbeda-beda. Lalu, aku harus menyadari, inilah salah satu fase terberat dalam hidup yang kualami. Dan inilah caraku untuk berusaha menyerok berbagai hikmah, belajar, dan berbagi, meski harus kupublikasikan. Aku berharap ini menjadi sebuah pelajaran besar dari Allah untukku, juga menjadi pelajaran bagi orang-orang yang menyimak dan mengetahui.


Tentu saja, kejadian ini berhasil membuat aku kaget sekaget-kagetnya, bagai disambar petir di siang bolong. Kejadian yang tidak ada aba-aba, beberapa jam sebelumnya masih "baik-baik saja", berbincang-berkumpul bersama, tetapi kemudian beberapa jam setelahnya kuterima sebuah keputusan, melalui pesan singkat. Tentu saja responsku saat itu begitu shock, bingung, dan pasrah. Putusan telah terucap, dan secara agama, putusan ini dianggap sah, beriringan dengan aturan syariat yang berjalan. Janji yang terucap di depan Allah hingga menggetarkan arsy-Nya, kini telah diingkari. Sesuatu hal yang Allah benci meski diperbolehkan, kini terjadi. Mimpi yang dibangun dan usaha sekuat tenaga untuk menggapai harapan hanya terjadi sekali seumur hidup, kini telah terpatahkan. 


Aku mengalami fase pertama, yakni selama dua minggu penuh, perasaan-perasaan yang datang sungguh tak karuan. Lebih tepatnya, masih dalam kondisi shock dan bingung membedakan mana yang nyata dan mimpi, meyakinkan diri apakah kejadian ini benar atau tidak. Respons tubuh saat seminggu pertama adalah memburuk, suhu tubuh meninggi berhari-hari, tidak sepenuhnya tidur saat malam hari, dan bahkan nyaris pingsan. Hal ini diperparah karena kondisi di rumah saat itu tidaklah kondusif. Mengapa? Karena dalam pekan itu pula, paman bungsu akan menikah. Semua sibuk, tetapi fokus terbagi menjadi dua: antara sedih dan bahagia. Namun, aku bersyukur kepada Allah karena Allah memberikan kekuatan padaku untuk hadir di acara bahagia paman bungsu, meski sepanjang acara, dunia terasa terus berputar di kepala dan mata. Kadang-kadang oleng dan nyaris terjatuh. Namun, sungguh, hari itu aku bahagia karena bisa merasakan bahagia.


Pada minggu kedua di fase pertama, kondisi tubuh mulai membaik meski masih dalam kondisi shock dan sulit membedakan antara nyata dan mimpi. Di minggu kedua ini, aku selalu merasakan kaget saat terbangun dari tidur. Rasanya, selalu ada batu besar yang menindih tubuh. Sesak? Iya. Berat? Iya. Kucoba nikmati perasaan yang hadir. Kucoba kenali pelan-pelan apa yang sedang aku rasakan. Kucoba perlahan mengidentifikasi perasaan yang ada saat itu. Aku terima. Aku terima. 


Setelah melewati fase bingung hulang-huleng meski perasaan marah, sedih, dan kecewa sudah hadir, aku mulai merasakan fase kedua. Fase ini terjadi selama dua minggu kemarin (dan entah sampai kapan), tepat ketika aku harus menyeberang pulau, ketika mulai berkumpul dengan keluarga inti, ketika mulai meninggalkan support system yang ramai di Bandung. Di fase ini, aku mulai sadar dengan realita yang ada. Aku sudah berada di tempat yang berbeda dan dalam kondisi yang berbeda. 


Pada fase ini, setelah marah dan "menolak", rasa baal atau mati rasa yang terjadi di dua minggu sebelumnya ternyata sudah hilang. Luka-luka mulai terasa semakin perih dan menyayat, darah-darah semakin deras mengalir. Kejadian-kejadian buruk traumatis di masa lampau semakin datang menghampiri. Betapa ringkih dan rapuhnya hati hingga sudah pecah berkeping-keping. Katanya, fase ini memasuki fase depresi. Ada waktu-waktu air mata tiba-tiba jatuh (bahkan begitu deras) tanpa bisa aku tahan. Ada masa dada begitu terasa sesak hingga kesulitan bernapas. Ada saat rasanya ingin teriak kencang memecah gelombang. Sungguh begitu sulit, tapi aku terima proses ini. Aku terima. 


Berulang kali aku meminta maaf kepada Allah karena sering menjadi makhluk-Nya yang abai dan lalai. Namun, berulang kali pula aku berterima kasih pada-Nya karena Dia begitu banyak menggerakkan hati orang untuk berkenan merasakan empati dan berkenan melontarkan doa-doa baik untukku. Berulang kali aku berterima kasih karena Dia masih terus baik dan membantuku, memberiku banyak sekali kekuatan. Berulang kali pula aku meminta untuk bisa menjalani semua proses ini dengan baik, juga dengan bimbingan-Nya. 


Bagiku, bagian mengidentifikasi rasa seperti ini yang justru bisa menjadi sulit. Aku pernah berbincang dengan seorang teteh sepupu, membicarakan kelanjutan kasus dan beberapa kabar buruk yang menghinggapi lagi. Kukatakan padanya, "(Saking pahitnya), Kok lucu banget ya bisa sampai begini." Tapi ia berkata, "Jangan bilang lucu, ini kejadian pahit, peluk perasaannya. Ini kejadian pahit."


Kucoba mengetahui perasaan-perasaan yang ada agar aku bisa semakin mengenal dan memahami perasaan ini. Kuakui semua luka yang hadir dan tak kusembunyikan luka-luka itu agar kutahu ada di mana, berapa, mengapa, dan bagaimana luka-luka itu perlahan kusembuhkan, juga dengan bantuan-Nya. 


Kurayakan semua prosesnya, entah itu baik, buruk, bahagia, sedih, marah, ataukah kecewa. Aku berterima kasih kepada diriku untuk tidak menyakiti diriku sendiri. Aku berterima kasih kepada diriku karena masih terus menaruh harap besar pada Sang Ilahi. 



Ya Allah, tolong bantu aku mengumpulkan banyak sekali hikmah yang terserak dari kejadian ini.    

(image by Elja on Canva Studio) Pada tahun dengan angka kembar per dua digit, perahu ( atau kita sebut saja kapal ) yang masih kecil dan rin...


(image by Elja on Canva Studio)


Pada tahun dengan angka kembar per dua digit, perahu (atau kita sebut saja kapal) yang masih kecil dan ringkih mulai berlayar pelan-pelan ke tengah lautan. Dengan perbekalan yang sedikit, Kapten Kapal dengan percaya diri memimpin kendali untuk berlayar dengan tujuan awal berjarak kurang lebih enam ratus enam puluh tujuh kilometer dari pusat ibu kota negara. Dia mulai belajar mengenali kondisi angin, mengecek layar yang terbentang, meneropong segala kemungkinan, berjaga dengan badai, dan sering pula (bersama-sama) berusaha untuk mendayung sampan lebih kuat agar perahu tetap berjalan.

Sementara itu, sang Awak Kapal mulai mengenali kondisi. Dia tahu bahwa awal perjalanan ini akan sangat membutuhkan juang yang hebat, badan yang sehat, dan mental yang kuat. Dia tahu bahwa akan ada bagian-bagian penting yang membutuhkan dirinya untuk memegang kendali, memastikan (mencari dan menyiapkan) segala kebutuhan hidup agar terpenuhi. Ada saat Awak Kapal terpaksa bertukar peran untuk mengambil alih, tetapi dia jalani dengan senang hati. Bukankah sang Kapten dan Awak Kapal telah saling percaya dan berjanji?

Saat perahu bersandar di dermaga pulau yang dituju, Kapten Kapal menunaikan hajatnya untuk mencari bekal—materi dari para guru, di gedung tinggi, dengan seragam rapi dan berdasi. Ada kalanya, Kapten dan Awak Kapal menyisir hutan untuk mencari daun-daun yang bisa dilahap dan menjadi energi tubuh. Setidaknya, cukup untuk bisa menjadi energi tubuh–meski tak hanya sekali, keduanya pernah hingga keracunan. Kondisi ruang beristirahat pun tak lagi menjadi masalah bagi Awak Kapal meski dalam beberapa situasi, kayu-kayu kapal mulai lapuk akibat sengatan matahari dan deburan ombak yang tinggi, air laut mulai menggenangi perahu, hawa dingin dan panas silih berganti.

Dalam masa yang tak sebentar, Kapten dan Awak Kapal bertemu banyak sekali kapal lain yang bersandar di dermaga. Beragam jenis kapal ditemukan oleh mereka, mulai dari perahu yang sederhana hingga yang sudah besar. Beruntungnya, Kapten dan Awak Kapal mendapat banyak sekali "bantuan" dari para tetangga kapal. Mereka berdua lemah, tetapi mau berjuang, kemudian Tuhannya memberikan bantuan. Namun, jika mereka berdua lemah, tetapi hanya salah satu yang mau berjuang, bagaimana mereka mendapatkan bantuan, kecuali gangguan?

Satu setengah tahun mereka habiskan untuk belajar dan beradaptasi. Dalam kondisi yang serbakurang, keduanya optimis mendapat bekal yang cukup. Kapten dan Awak Kapal pun bergegas berlayar kembali. Peta telah di tangan, kompas telah dipasang, dan buku catatan berisi tujuan atas diskusi dan persetujuan keduanya telah rampung ditulis. Kalau begitu, Kapten melihat situasi, Awak Kapal juga ikut berjaga dan memantau sekitar. Jika ada ombak atau badai yang berbahaya, keduanya perlu saling menjaga. Jika ada perahu perompak yang mau menyerang, keduanya harus saling siap mengadang. Bukankah itu sudah aturan alam?

Di pelayaran selanjutnya, gelombang lebih tinggi, gerimis hingga badai mulai datang. Lalu, yang tak disangka, di tengah pelayaran yang masih dalam kondisi lemah dan serbajuang, ada monster laut yang berjaga di batas teritorial.

(image by Savanevich Victar on Canva Studio)   Rasanya, baru kali ini tertarik untuk menulis catatan satu tahun perjalanan. Saya tak memanda...

(image by Savanevich Victar on Canva Studio)
 

Rasanya, baru kali ini tertarik untuk menulis catatan satu tahun perjalanan. Saya tak memandang pergantian tahun sebagai sebuah perayaan seremonial, tetapi saya selalu melihat segala hal yang telah dialami dan dirasakan selama satu hari, satu bulan, hingga satu tahun ke belakang—dan kebetulan sekarang berada di penghujung tahun masehi (menjadi sebuah catatan peringatan juga bagi saya karena lebih hafal tahun masehi daripada hijriyah). Semuanya adalah apa-apa yang telah Allah takdirkan untuk saya syukuri dan pelajari.

Tahun ini adalah salah satu tahun penuh batu besar dengan arus sangat deras saat saya melakukan perjalanan. Saya seperti sedang mengarungi sungai; kadang dibuat terlena dengan arus air yang tenang, kadang dibuat waswas karena deras sungai yang begitu menegangkan dan membahayakan. Terlebih di sepanjang jalan, saya banyak menemukan batu-batu besar yang mampu merusak perahu saya, atau bahkan membuat saya tenggelam.

Tahun ini adalah tahun yang membuat saya akhirnya menceklis beberapa mimpi kecil yang saya tulis. Saya kembali dipertemukan dengan seorang musyrifah (yang saya temui tahun lalu) untuk memperdalam ilmu tahsin bersanad, saya juga dipertemukan dengan banyak orang dan diberi kesempatan untuk mengamalkan ilmu yang saya dapatkan. Saya perlahan mulai mengerti tentang membaca Alquran yang baik dan benar setelah sebelumnya, saat SMA, saya menangis tersedu-sedu—dan menyalahkan diri sendiri—karena saya tak mampu membaca dengan benar—meski lancar. Tak mampu membaca sesuai ilmunya, pun sesuai yang telah dicontohkan oleh Rasulullah.

Tahun ini, saya kembali bersemangat untuk menulis—meski secara beramai-ramai. Saya diberi kesempatan untuk menghimpun dan membaca pertama kali tulisan-tulisan keren, yang juga menghantarkan saya pada beberapa kesempatan berbagi pengalaman dan sedikit pengetahuan yang telah saya dapatkan.

Tahun ini, saya mampu melewati sidang proposal penelitian. Kala itu saat menyusun proposal, saya begitu semangat menggebu-gebu. Terasa nikmat saat menyusun karya ilmiah buah pikiran sendiri, saat menemukan dan memecahkan sesuatu sebagai hasil rasa penasaran saya, dan saat melahap beragam referensi buku dan jurnal. Begitu bahagia—meski letih dan lelah—menyusun proposal sebagai bentuk implementasi dari ilmu yang telah saya dapatkan selama di kampus. Saat itu, saya begitu idealis dan optimis.

Tahun ini, saya perlahan dapat membuka tabir tentang pertanyaan dan perjalanan hati. Sekian lama saya menanti, akhirnya Allah bukakan satu pintu sebelum masuk pintu yang lain. Allah beri kunci yang harus saya jaga untuk kemudian bersama membuka pintu yang lain. Saya bahagia. Tentu.

Namun, semua kebahagiaan yang saya dapatkan, juga diberi sepaket berupa kesedihan. Ketika saya merasakan kenikmatan menyusun proposal, saya juga harus sangat bersabar dan kuat melawan trauma saya—yang saat SMA dulu pernah saya rasakan. Takdir dan putusan—yang tentu diberikan oleh Allah—tak hanya membuat saya berjuang menyusun skripsi, tetapi juga berjuang melawan rasa trauma bersifat personal yang sebelumnya tak terduga akan saya alami kembali. Saya takut. Saya menangis tak henti-henti. Semua bayangan buruk yang pernah saya alami kembali terngiang dan sempat terjadi beberapa kali dalam waktu yang belum lama. Saya bingung. Saya ketakutan, tetapi sulit menceritakan kepada orang. Hingga akhirnya, skripsi yang sedang saya susun tak semulus yang saya harapkan. Di saat yang lain sudah berlari, saya masih tertatih-tatih berjalan.

Di perjalanan yang lain, saya kira, pertanyaan dan perjalanan hati saya sudah terjawab dengan tepat. Namun, Allah tangguhkan semua rencana dan harapan yang telah disusun dan dieja dari satu hingga seribu. Saya masih sulit mencari pintu selanjutnya, meski kunci telah saya genggam. Batu besar yang menghalangi dan arus yang begitu deras menjadikan saya cukup kewalahan menjaga kunci dengan baik, terlebih begitu sulitnya pintu yang harus saya temukan.

Di pertengahan jalan, saya harus fokus memperbaiki perahu yang rusak agar saya tidak tenggelam. Saya harus memilih cabang arus sungai ke jalan yang berbeda dari jalan yang direncanakan. Saya harus lebih siaga kalau-kalau kelak bertambah pula rintangan yang menghadang.

Meski bahagia dan sedih adalah respons subjektif perasaan seseorang, saya menjadi belajar untuk bisa menghargai perasaan sendiri. Ketika saya bahagia, saya tak boleh terlena karena arus tak selamanya tenang. Ketika saya merasa sedih, takut, hingga sakit, saya harus sadar bahwa perasaan itu akan menguatkan saya jika saya sikapi dengan baik dan membuat saya lebih siaga melawan rintangan di depan. Meski semua yang terjadi mengharuskan saya kembali menata ulang harapan, rencana, dan jalan yang saya tempuh, saya harus yakin bahwa semua sudah diatur Allah dengan sangat baik dan akan menjadi baik. Meski, saya sedang berhati-hati sekali untuk bermimpi, meski saya dilanda bingung hendak ke mana arah melangkah, saya harus yakin bahwa saya tak pernah sendiri. Allah selalu membantu menerangi jalan, menolong dan menjaga saya di kala arus tenang maupun deras, pun mendengar semua harapan, kesedihan, dan ketakutan.

Jadi, mari mulai kembali, Ikfi.


(Akhir 2019)

(image by Mohanraj Suvarna on Canva Studio) Perjalanan  seorang insan dalam mengarungi bahtera kehidupan menjadi sebuah kepastian bagi siapa...

(image by Mohanraj Suvarna on Canva Studio)

Perjalanan seorang insan dalam mengarungi bahtera kehidupan menjadi sebuah kepastian bagi siapa pun yang Allah izinkan hidup. Bahkan, perjalanan dirinya tak hanya berhenti hingga dunia, namun akan terus berlanjut pada kehidupan setelahnya—akhirat.


Saya menyukai travelling. Saya suka jalan-jalan. Saya menghargai setiap perjalanan, baik jarak dekat ataupun jauh. Saya menikmati setiap perjalanan, baik sendiri maupun ditemani. Perjalanan (baik jalan kaki, naik motor, mobil, pesawat, kereta api, ataupun kapal laut) adalah sebuah bentuk aplikasi tauhid. Di dalam prosesnya, ada ujian keimanan yang Allah berikan.

Di banyak perjalanan, qadarullah saya harus pergi sendiri. Kondisinya tidak memungkinkan ditemani oleh siapa pun (tentu orang-orang yang merantau seberang pulau paham betul, kan? Bukan hanya seberang pulau, banyak teman-teman yang bepergian lintas kota ketika pulang dari perantauan ke rumahnya masing-masing, juga sendiri). Ketika kondisinya mengharuskan sendiri, serahkan perjalanan yang akan kita tempuh pada Allah. Ini poin pertama dari tauhid. Berserah hanya pada Allah.

Tentu, ada banyak harapan dari sebuah perjalanan. Ketenteraman, kenyamanan, keselamatan, kesehatan, dan kebahagiaan—yang bermuara pada permintaan perlindungan dan pertolongan. Lalu, pada siapa kita meminta selain kepada-Nya? Tentu, tidak ada satu pun tempat bergantung selain kepada Allah. Inilah poin kedua dari aplikasi tauhid.

Persiapan sebelum perjalanan, mengemas barang, menyiapkan badan untuk tetap sehat, menyiapkan dana, hingga melihat tujuan, jarak tempuh, dan perencanaan transportasi adalah hal lumrah yang banyak dilakukan. Namun, satu bekal yang patut dibawa dan dijaga selama perjalanan adalah takwa—melaksanakan semua yang diperintahkan Allah dan menjauhi semua yang dilarang-Nya. Dengan takwa, Allah menjaga kita dari gangguan dan marabahaya. Dengan takwa, kita tidak melupakan adab di setiap kesempatan. Dengan takwa pula, Allah yang menjadikan perjalanan kita sarat akan kebaikan dan keberkahan.

 

Kemarin, kini hingga nanti, tiap-tiap diri kita adalah musafir. Pergi dan berhenti pada perjalanan sendiri-sendiri. Mulai dan berakhir pada waktu sendiri-sendiri.

Semoga kita selamat dalam perjalanan, juga selamat pada akhir perjalanan kita.