(image by Mihailo Karanovic on Getty Images) |
Beberapa bulan lalu, begitu ramai orang membuat (dan mengunggah ulang) video di media sosial dengan satu konten yang sama. Kalimatnya rata-rata serupa: "Telat inilah, telat itulah, mari kita mulai masa remaja di usia 30 tahun," untuk orang yang sudah masuk di kepala tiga. Atau diganti dengan "di usia 25 tahun" untuk orang yang sudah masuk usia seperempat abad. Dan sebagainya, dan sebagainya.
Memasuki masa-masa quarter life crisis memang menimbulkan beragam pertanyaan dan perbandingan tentang kehidupan; tentang karier, kehidupan sosial, ataupun hubungan relasi. Di usia-usia ini, ada banyak orang yang sudah mendapatkan sesuatu yang mereka harapkan, tetapi tidak sedikit pula orang yang merasa stuck dan sulit mencapai mimpi-mimpinya. Di usia-usia ini, ada orang yang sudah menyebarkan undangan hingga menimang buah hati, tetapi tidak sedikit pula orang yang masih kebingungan dengan jodohnya; bahkan, calonnya pun tak ada. Di usia-usia ini, ada banyak orang yang sudah melanglang buana mengelilingi dunia, tetapi tidak sedikit pula orang yang bertahan memberikan tabungannya untuk sekadar bisa makan keluarganya. Tapi, apakah memang kehidupan menjadi sebuah ajang perbandingan dan perlombaan?
Tentu aku tidak munafik pernah merasa stres akibat beragam pertanyaan "kapan" dan "kenapa" dari mulut-mulut yang terlalu ramah itu. Itulah mengapa kalimat dalam konten tersebut seakan menjadi "penghibur" dan "penenang" bagi orang-orang yang merasa "telat" mencapai mimpi—jika dibandingkan dengan orang lain. Toh, tidak mengapa di usia segini baru bisa main bebas; toh, tidak masalah baru menikmati hidup di usia segini dan menikmati sedikit hasil jerih payahnya sekarang untuk bersenang-senang; toh, tidak apa-apa jika belum mencapai mimpi-mimpi itu; toh, tidaklah buruk menikmati hidup seperti masa remaja di usia 30 tahun; toh, usia hanyalah angka~ Kalau kata Tulus, menikmati hidup memulai masa remaja yakni seperti saat "kita masih sebebas itu, rasa takut yang tak pernah mengganggu"~
Tentu saja, konten yang sempat ramai berseliweran di lini masa media sosial ini membuatku setuju dan merasa ada "teman". Tapi kemudian perlahan aku bertanya-tanya: bukankah dalam Islam tidak ada fase remaja, ya? Karena saat aku membaca beberapa tulisan yang membahas hal ini, di dalam Islam hanya muncul istilah syabab—setelah masa aulad atau anak-anak—atau fase pemuda (atau dewasa awal) yang masuk di kisaran usia 15 hingga 40 tahun. Di masa usia 15 tahun ini biasanya seseorang masuk dalam kategori mukallaf, terkena kewajiban menjalankan ajaran-ajaran Islam, alias sudah baligh. Yang itu artinya, kalau menurut Dr. Adian Husaini, seseorang yang sudah masuk di fase ini adalah ia yang imannya sudah harus benar, ibadahnya sudah benar, adabnya sudah benar, mengajinya sudah benar, jiwa dan pemikirannya sudah mantap dan benar.
Ah, mungkin aku terlalu menanggapi serius dari sebuah konten yang sekadar hiburan dan penenang ini.
Perlahan kemudian aku sadar, pertanyaan “kapan” dan “kenapa” itu tiba-tiba berhenti dari mulut mereka ketika objek yang ditanyanya tiba-tiba mengalami musibah. Entah karena kasihan, prihatin, ikut berduka, atau tidak ada hal lagi yang dirasa cocok untuk ditanyakan. Rasa-rasanya, musibah bisa menjadi anugerah untuk terhindar dari dera tanya dan hakim mereka. Toh, jangankan untuk “berlomba” dan berjuang mengejar mimpi, untuk sekadar bisa bertahan dalam situasi sulit secara baik pun adalah sebuah usaha berat nan susah-payah. Kalau kata film Jatuh Cinta Seperti di Film-Film, “Yang berat dari berduka itu hidup harus berjalan terus, kan? Padahal, kitanya lagi gak mau jalan.”
Rasa-rasanya, musibah juga bisa membuka paham dan legowo lebih luas. Misalnya, saat kita sudah berjuang mendapatkan mimpi A, lalu kemudian yang sudah didapatkan itu tiba-tiba hilang dan diambil kembali oleh-Nya dengan cara yang pedih, akhirnya, sambil memulihkan diri (yang susah payah ini), kita lebih berhati-hati dan memberi batas toleransi terhadap mimpi-mimpi kita selanjutnya. Di saat orang-orang berjuang mendapatkan mimpi A, kita sudah pernah mengalami pahit dan perihnya hal itu sehingga kita sudah tidak lagi menggebu-gebu untuk mendapatkan kembali mimpi A (ataupun hal-hal lain). Kita mungkin bisa menjadi lebih berhati-hati atau bahkan belum sepenuhnya percaya, hingga akhirnya perlahan menikmati hidup yang begini-begini aja dengan jauh lebih waspada. Dan legowo. Dan bersyukur. Dan bersedih. Dan (mungkin) memulai masa remaja di usia yang sebenarnya masih muda~
Pada akhirnya, adakah istilah telat ini dan telat itu dalam lajur kehidupan kita? Apakah menikah di usia 30 tahun adalah telat, sedangkan menikah di usia 23 tahun adalah cepat? Padahal, bisa jadi yang menikah di usia 23 tahun itu ternyata (ditakdirkan) sudah menjadi janda ataupun duda di usia 25 tahun. Jadi, telat dan cepat menurut siapa? Bukankah begitu pula dengan karier, dengan memiliki anak, dengan banyak hal lain yang sebenarnya bukan kuasa kita sepenuhnya?
Pada akhirnya, tidak perlu memulai menjadi (di fase) remaja, atau istilah apa pun itu, mari melanjutkan hidup yang sudah ditentukan garisnya ini, dan semoga kita yang sedang menjalani umur segini adalah kita yang bisa menjalani dan menikmati hidup dengan lebih bijak dan enjoy, menjalani hidup dengan banyak belajar, menjalani hidup dengan iman yang makin teguh.
Lalu, bagi kamu yang juga sedang berada di fase bingung sepertiku: mempertanyakan bahkan menggugat banyak hal; kesulitan melihat batas hitam dan putih; menantang banyak orang; mempertanyakan atau bahkan tidak percaya pada suatu kelompok (orangnya, pengajarannya) yang sebelumnya dipercaya, atau pada seseorang, atau pada suatu aturan; menabrak atau merombak batas; dan lain-lain; dan lain-lain, semoga di tahun ini perlahan menemukan jawabannya, pelan-pelan menemukan “kebenaran”nya. Dengan arahan-Nya, dengan bantuan dan ilmu-Nya. Semoga pertentangan dan pertanyaan yang aku (dan mungkin kamu) lontarkan ini adalah khilaf yang dimaafkan oleh-Nya, juga proses menjadi lebih baik yang diridai-Nya.
Semoga kita adalah orang-orang yang tidak mudah berpuas diri dalam belajar, dalam mencari ilmu yang benar.
Terakhir, kamu boleh tidak sependapat denganku.
Ini hanyalah tulisan curcol pertama di tahun 2024. Cheers!
Aamiin Kak! Terima kasih sudah mewakili perasaan. Tulisannya relate dengan apa yang saya rasakan saat ini :)
BalasHapusMakasih udah berkunjung, Kak. Semangat dan sehat selalu yaa<3
Hapus