(image by bizoo_n on Canva Studio) Pelayaran selanjutnya dimulai. Perjalanan kali ini rasanya terasa lebih lama. Dan lagi, mereka berdua aka...

Perahu Kecil yang Ringkih (2)

(image by bizoo_n on Canva Studio)

Pelayaran selanjutnya dimulai. Perjalanan kali ini rasanya terasa lebih lama. Dan lagi, mereka berdua akan memasuki wilayah yang cukup luas, tentu dengan arus gelombang yang tiba-tiba derunya bisa bergemuruh sangat kuat atau dengan kehadiran angin badai yang tiba-tiba menerjang perahu kecil mereka dengan sangat hebat.
 
Kapten dan Awak Kapal berjaga. Dengan perbekalan yang ada di tangan, Kapten Kapal mengikuti peta dan catatan sebagai sarana navigasi jalan; memandu ke mana arah perahu akan berlayar. Dengan tangan kecilnya, Awak Kapal ikut mendayung perahu dengan kuat. Layar perahu yang terbentang masih sering dicek silih berganti oleh keduanya, untuk berjaga-jaga kalau ada bagian yang berlubang dan perlu ditambal. 

Perahu berlayar. Kadang-kadang pelan sambil menikmati laut tenang dan pemandangan yang ada di hadapannya, kadang-kadang pula kencang didorong angin dengan sangat kuat. Kadang-kadang harus tiba-tiba mengubah kemudi karena ada terumbu karang yang besar di depan. Pada siang hari, terik matahari bisa saja begitu menyengat tubuh, sedangkan pada malamnya, dingin menusuk tulang hingga menggigil. Bahkan, ada pula saat matahari sedang memancarkan panas dan sinarnya begitu terang, tiba-tiba berubah diganti dengan awan hitam disertai petir yang menyambar. Bukankah memang begitu pelayaran kehidupan? Bukankah memang bahtera ini tidak luput dari suka-duka perjalanan?

Tak lama, perahu mulai memasuki wilayah besar sebagai tujuan berikutnya. Awak Kapal paham akan ada banyak pelajaran baru dari pelayaran ini. Ia tahu akan perlu adaptasi baru untuk menjalaninya. Ia tahu bahwa kapal ini juga adalah tanggung jawabnya, mengikuti arahan dari Kapten. Meski begitu, ia juga tetap bersiap siaga untuk menghalau dan mengingatkan Kapten jika perahu memasuki zona bahaya; untuk berjaga agar tidak ada perompak datang dan tidak tenggelam.

Namun, Awak Kapal terkejut melihat sinyal yang cukup berbeda dari wilayah perairannya kini. Ia terkejut melihat beberapa monster laut yang berjaga di batas teritorial. Monster laut itu membuat peraturan bahwa siapa pun yang masuk ke zona ini, haruslah mengikuti aturan yang berlaku—sesuai keinginan mereka. Beberapa kali monster laut ikut mengusik kemudi, yang turut diikuti oleh sang Kapten. Awak Kapal kembali membuka peta dan catatan navigasi, lalu bergumam, "Ini tidak sesuai dengan yang tertulis, tidak sesuai dengan kesepakatan bersama." 

Beberapa dari yang berjaga di batas teritorial terus berteriak dan memaksa, "Perahu kalian harus merapat masuk dengan kapal induk!" Beberapa ada yang berseru, "Harusnya begini, bukan begitu!" 

Awak Kapal kemudian bingung: Bukankah setiap perahu memiliki kedaulatan yang penuh untuk menentukan tujuan pelayarannya? Bukankah setiap yang berlayar punya hak untuk merasa aman dan nyaman? Bukankah dengan mendayung berdua bersama dan mengambil jalan bersama, bukan berarti melanggar aturan yang dibuat oleh makhluk? Bukankah ada banyak jalan menuju Roma? Bukankah dengan telah memutuskan berlayar bersama di perahu ini, juga telah memutuskan untuk mandiri dan saling?

Setelah membaca situasi, Awak Kapal bertanya dan mengajak berdiskusi. Ia bersedia mendengar apa-apa yang akan terlontar dari mulut kaptennya. Namun, beberapa kali ia mencoba, sang Kapten tetap bergeming. 

Tak lama, semua yang berjaga di teritorial ikut masuk dalam perahu. Mereka mengalihkan kemudi. Tiap-tiap dari mereka kini membawa pedang untuk menawan Awak Kapal. Awal Kapal sungguh ketakutan dan hendak meminta bantuan dan perlindungan dari sang Kapten, tetapi Kapten justru ikut mengeluarkan pedangnya. Kini Awak Kapal tertawan.

Ombak besar terus menghadang perahu kecil yang belum sempurna itu. Hujan mengguyur laut begitu deras, disertai kilat dan petir yang menyambar. Layar perahu yang terbentang kini mulai robek. Perahu kian lama kian mendekati terumbu karang besar yang sudah diwanti-wanti sejak awal. Tak butuh waktu lama, perahu kecil itu menabraknya. Kayu-kayu perahu yang masih perlu dihampelas dan ditambal sana-sini tidak kuat dihantam gelombang dan terumbu karang. Perlahan, air laut mulai masuk dan menggenangi perahu.

Awak Kapal mencari dayung yang selama ini digunakan untuk membantunya berlayar, tetapi hilang entah ke mana. Semua yang memegang pedang mulai memaksa Awak Kapal untuk keluar dari perahu, tetapi dihunusnya lebih dulu. Luka-luka yang ada pada tubuh Awak Kapal semakin perih terasa saat terkena air hujan yang mengguyur deras serta terkena air laut yang asin akibat cipratan ombak dan yang perlahan menggenang di kapal. 

Kapal induk kian mendekat. Mereka pergi ke sana dan membiarkan Awak Kapal bersama perahu kecilnya yang kian lama akan tenggelam. Lalu karam. 



Sambil terus bertahan agar tidak tenggelam, Awak Kapal mengerahkan kemampuan berenangnya dengan sekuat tenaga. Kini ia perlu bertahan sebentar, berenang dengan mengarungi lautan yang ganas untuk mencari dan kembali ke perahunya sendiri. Selama itu pula, ia bertanya-tanya,
Burukkah ia dalam mendayung sampan? Bersalahkah ia dalam meminta hak yang benar? Tak layakkah ia diperjuangkan dan diselamatkan? Tak ada waktu dan kesempatankah ia untuk sama-sama belajar? Atau, apakah sang Kapten telah memiliki awak kapal baru sebagai pengganti dirinya? 

Tanpa mereka sadari, selain menjadi sebuah pembelajaran berharga untuk Awak Kapal, kejadian ini membuat sang Awak Kapal takut, takut sekali, untuk mengarungi kembali lautan dengan orang lain dalam satu perahu. Kepercayaannya hilang, pada orang lain dan dirinya sendiri. 

2 komentar: