(image by Sahid Sultan on Canva Studio)   Sabtu lalu, aku ke psikolog. Tepat kurang lebih satu bulan setelah kejadian. Aku butuh pandangan b...

Jurnal Perayaan (1)

(image by Sahid Sultan on Canva Studio)

 

Sabtu lalu, aku ke psikolog. Tepat kurang lebih satu bulan setelah kejadian. Aku butuh pandangan baru, nasihat baru, dan tempat penyaluran ceritaku kepada orang lain (yang ahli) yang benar-benar tak mengenaliku. Kucari rekomendasi psikolog terbaik di kota ini. Bahkan, ia sudah mengantongi beberapa sertifikat yang berkaitan dengan masalahku. Aku harap, cara ini menjadi salah satu bentuk pertolongan Allah juga untukku.

***

Setelah melewati satu bulan yang berat, akhirnya kubagi dalam beberapa fase yang kurasakan. Kukenali dan kuidentifikasi perasaan-perasaan yang datang. Meski sulit, kunikmati semua prosesnya. Meski sakit, kuterima semua perasaan yang ada. Meski entah sampai kapan berlalu, aku masih bersyukur masih bisa terus melewati hari demi hari meski tertatih, meski harus tergopoh-gopoh, meski masih dengan berlumuran darah.


Kalimat pertama saat aku membuka suara dan mengeluarkan sedikit pembuka keluh kesahku, Mbak psikolog mengingatkan, "Semua orang akan mengalami fase yang berat dan sulit. Semua orang punya masalah terberat versi mereka masing-masing." Kucerna baik-baik kalimat itu. Aku takut, responsku terhadap emosi yang kurasakan selama sebulan terakhir terlalu berlebihan dan dianggap sebagai orang yang merasa paling tersakiti. Namun, aku tahu, semua orang akan mengalami fase ini, melewati fase dengan cara yang berbeda-beda. Lalu, aku harus menyadari, inilah salah satu fase terberat dalam hidup yang kualami. Dan inilah caraku untuk berusaha menyerok berbagai hikmah, belajar, dan berbagi, meski harus kupublikasikan. Aku berharap ini menjadi sebuah pelajaran besar dari Allah untukku, juga menjadi pelajaran bagi orang-orang yang menyimak dan mengetahui.


Tentu saja, kejadian ini berhasil membuat aku kaget sekaget-kagetnya, bagai disambar petir di siang bolong. Kejadian yang tidak ada aba-aba, beberapa jam sebelumnya masih "baik-baik saja", berbincang-berkumpul bersama, tetapi kemudian beberapa jam setelahnya kuterima sebuah keputusan, melalui pesan singkat. Tentu saja responsku saat itu begitu shock, bingung, dan pasrah. Putusan telah terucap, dan secara agama, putusan ini dianggap sah, beriringan dengan aturan syariat yang berjalan. Janji yang terucap di depan Allah hingga menggetarkan arsy-Nya, kini telah diingkari. Sesuatu hal yang Allah benci meski diperbolehkan, kini terjadi. Mimpi yang dibangun dan usaha sekuat tenaga untuk menggapai harapan hanya terjadi sekali seumur hidup, kini telah terpatahkan. 


Aku mengalami fase pertama, yakni selama dua minggu penuh, perasaan-perasaan yang datang sungguh tak karuan. Lebih tepatnya, masih dalam kondisi shock dan bingung membedakan mana yang nyata dan mimpi, meyakinkan diri apakah kejadian ini benar atau tidak. Respons tubuh saat seminggu pertama adalah memburuk, suhu tubuh meninggi berhari-hari, tidak sepenuhnya tidur saat malam hari, dan bahkan nyaris pingsan. Hal ini diperparah karena kondisi di rumah saat itu tidaklah kondusif. Mengapa? Karena dalam pekan itu pula, paman bungsu akan menikah. Semua sibuk, tetapi fokus terbagi menjadi dua: antara sedih dan bahagia. Namun, aku bersyukur kepada Allah karena Allah memberikan kekuatan padaku untuk hadir di acara bahagia paman bungsu, meski sepanjang acara, dunia terasa terus berputar di kepala dan mata. Kadang-kadang oleng dan nyaris terjatuh. Namun, sungguh, hari itu aku bahagia karena bisa merasakan bahagia.


Pada minggu kedua di fase pertama, kondisi tubuh mulai membaik meski masih dalam kondisi shock dan sulit membedakan antara nyata dan mimpi. Di minggu kedua ini, aku selalu merasakan kaget saat terbangun dari tidur. Rasanya, selalu ada batu besar yang menindih tubuh. Sesak? Iya. Berat? Iya. Kucoba nikmati perasaan yang hadir. Kucoba kenali pelan-pelan apa yang sedang aku rasakan. Kucoba perlahan mengidentifikasi perasaan yang ada saat itu. Aku terima. Aku terima. 


Setelah melewati fase bingung hulang-huleng meski perasaan marah, sedih, dan kecewa sudah hadir, aku mulai merasakan fase kedua. Fase ini terjadi selama dua minggu kemarin (dan entah sampai kapan), tepat ketika aku harus menyeberang pulau, ketika mulai berkumpul dengan keluarga inti, ketika mulai meninggalkan support system yang ramai di Bandung. Di fase ini, aku mulai sadar dengan realita yang ada. Aku sudah berada di tempat yang berbeda dan dalam kondisi yang berbeda. 


Pada fase ini, setelah marah dan "menolak", rasa baal atau mati rasa yang terjadi di dua minggu sebelumnya ternyata sudah hilang. Luka-luka mulai terasa semakin perih dan menyayat, darah-darah semakin deras mengalir. Kejadian-kejadian buruk traumatis di masa lampau semakin datang menghampiri. Betapa ringkih dan rapuhnya hati hingga sudah pecah berkeping-keping. Katanya, fase ini memasuki fase depresi. Ada waktu-waktu air mata tiba-tiba jatuh (bahkan begitu deras) tanpa bisa aku tahan. Ada masa dada begitu terasa sesak hingga kesulitan bernapas. Ada saat rasanya ingin teriak kencang memecah gelombang. Sungguh begitu sulit, tapi aku terima proses ini. Aku terima. 


Berulang kali aku meminta maaf kepada Allah karena sering menjadi makhluk-Nya yang abai dan lalai. Namun, berulang kali pula aku berterima kasih pada-Nya karena Dia begitu banyak menggerakkan hati orang untuk berkenan merasakan empati dan berkenan melontarkan doa-doa baik untukku. Berulang kali aku berterima kasih karena Dia masih terus baik dan membantuku, memberiku banyak sekali kekuatan. Berulang kali pula aku meminta untuk bisa menjalani semua proses ini dengan baik, juga dengan bimbingan-Nya. 


Bagiku, bagian mengidentifikasi rasa seperti ini yang justru bisa menjadi sulit. Aku pernah berbincang dengan seorang teteh sepupu, membicarakan kelanjutan kasus dan beberapa kabar buruk yang menghinggapi lagi. Kukatakan padanya, "(Saking pahitnya), Kok lucu banget ya bisa sampai begini." Tapi ia berkata, "Jangan bilang lucu, ini kejadian pahit, peluk perasaannya. Ini kejadian pahit."


Kucoba mengetahui perasaan-perasaan yang ada agar aku bisa semakin mengenal dan memahami perasaan ini. Kuakui semua luka yang hadir dan tak kusembunyikan luka-luka itu agar kutahu ada di mana, berapa, mengapa, dan bagaimana luka-luka itu perlahan kusembuhkan, juga dengan bantuan-Nya. 


Kurayakan semua prosesnya, entah itu baik, buruk, bahagia, sedih, marah, ataukah kecewa. Aku berterima kasih kepada diriku untuk tidak menyakiti diriku sendiri. Aku berterima kasih kepada diriku karena masih terus menaruh harap besar pada Sang Ilahi. 



Ya Allah, tolong bantu aku mengumpulkan banyak sekali hikmah yang terserak dari kejadian ini.    

0 comments: